24 April 2013

dari kuli rendah yang besar ingin tahunya, jadilah maju dan sukses

Itu gambar apa pak?


Kok gambarnya begitu?


Itu maksudnya apa pak?


Begitulah Pak Suyat (sebut saja begitu, bukan nama sebenarnya), seorang ‘kenek’ atau kuli paling bawah di tingkat hierarki pekerjaan pertukangan.

Pak Suyat, lulus SD pun tidak. Bacanya tidak becus. Tapi tak sungkan untuk banyak bertanya kepada site manager-nya yang tongkrongannya bikin ‘jiper,’ dengan kumis sangarnya.

Beruntung meski sang site manager tersebut suka main clurit, eh salah, maksudnya bertubuh besar kayak Rambo, ia tetap meladeni Pak Suyat dengan baik. Mungkin hati sang manajer itu memang 11-12 dengan Rinto Harahap, jadi cukup sabar menjawab rentetan pertanyaan-pertanyaan dari kuli-nya itu.

Waktu itu era-nya breakdance, Lupus, Catatan si Boy, heavy metal, dan era new wave di paruh dekade ‘80-an. Pak Suyat bekerja sebagai kenek, posisi paling rendah di proyek konstruksi, di bawah tukang.

Antusiasme, rasa ingin tau, ingin bisa dan nafsu belajar Pak Suyat sungguh luar biasa. Meski jam kerja telah usai, dia rajin sekali bertanya tentang cara membaca gambar teknis.

Dengan sodoran bajigur panas yang diantarkan ke meja sang manajer, dia menyerap keterangan-keterangan dari sang manajer yang dianggapnya sebagai ilmu dari langit. Jauh banget pendidikan tinggi sang manajer dengan dirinya. Kebayang seberapa koplak dialog yang akan terjadi waktu itu.

“LRFD ini apa Pak?”

“Itu singkatan dari load and resistance factor design…”

“Oo…” Pak Suyat manggut-manggut bingung.

“Ngerti..?”

“Enggak….”

Tapi Pak Suyat pantang menyerah dengan keterbatasan pemahamannya. Ia lantas sedikit demi sedikit berani menerjemahkan gambar teknis yang rumit dalam bahasa dia. Dia mulai belajar bagaimana menyelesaikan konstruksi dengan waktu berapa lama, dan dibutuhkan berapa orang, dan seterusnya.

Dengan pemahaman sederhanya, akhirnya menjadi titik temu antara bahasa konstruksi yang rumit dengan ‘bahasa kuli’ yang sederhana. Selanjutnya sang manajer mulai mempromosikan Pak Suyat untuk menjadi mandor (tanpa melalui jenjang tukang, jenjang berikutnya dari kenek)

Pertimbangan sang manajer adalah dengan ‘nyambung’nya bahasanya di dengan bahasa para pekerjanya akan membuat sebuah proyek lebih cepat selesai dan tepat untuk dikerjakan.

Pak Suyat dengan gaya bahasanya mulai mampu memimpin orang. Ia pun sangat rajin dan belum pernah ingkar waktu. Itulah menjadi kelebihan dia.

Waktu berlalu, tahun demi tahun…

Sekarang?

Pekerjaannya di mana-mana. Dari Abu Dhabi sampai Hawaii. Kantor pusatnya di Singapura, Pak Suyat menjadi bos besar dari ribuan orang yang menggantungkan hidup padanya.

Padahal kemampuan baca tulisnya tidak jauh beda seperti dahulu. Jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia pun dia masih susah. Tapi dia punya staf legal yang mengurus kontrak-kontaknya, punya karyawan sarjana teknik banyak yang mengurus aspek teknisnya buat dia.

Empat puluh kilometer dari Madiun, Pak Suyat memilih untuk menghabiskan masa tuanya, dan dari sana pula ia mengontrol berbagai bisnisnya. Meski ia memiliki apartemen di Jakarta, dia memilih hidup di pelosok desa tempat ia tumbuh dan dibesarkan.

Kemampuan finansialnya sudah jauh melewati mantan manajernya, ’sang guru’ yang kini masih terus berbagi ilmu untuk yang muda-muda. :)

***

Karena hidup tidak saja hanya menanti badai berlalu, melainkan juga bagaimana menari di kala hujan…

Never.. ever give up..! semangaatt..! Jemput indahnya pelangi yang menanti di balik awan hitam…

sumber: kompasiana.com

Tiada ulasan: